Sedikit dijelaskan di sini tentang bahan bakar terbarukan yaitu shale gas. Shale gas adalah gas alam yang terdapat di dalam batuan shale, yaitu sejenis batu lunak (serpih) yang kaya akan minyak ataupun gas.
Gas ini pertama kali diekstraksi di Fredonia, pada tahun 1821. Namun produksi gas shale untuk industri baru dimulai
pada tahun 1970-an. Ketika itu Amerika Serikat mulai mengalami penurunan cadangan gas konvensional, yang memaksa negara itu untuk melakukan riset dan pengembangan baru. Tetapi dari serangkaian uji coba, pengeboran shale gas pada era 1980 tersebut masih kurang ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell Energy menemukan teknologi slick-water fracturing yang ekonomis.
Terdapat dua macam teknik pengeboran untuk shale gas, yakni melalui pengeboran horisontal atau hydraulic fracturing. Teknik ini juga yang membedakan shale gas dengan gas alam konvensional.
Karena letak sumber cadangan gasnya yang berbeda, maka lain pula teknik pengeboran yang digunakan. Konon, shale gas ini lebih ramah lingkungan, karena mampu mengurangi efek rumah kaca akibat emisi karbon yang dihasilkannya lebih sedikit dibandingkan gas alam konvensional. Hanya saja, biaya ekstraksi shale gas ini cukup mahal. Namun dengan kemajuan teknologi ke depan, diharapkan biaya ekstraksi dapat dikurangi.
Ketersediaan Shale Gas Sangat Melimpah
Dengan ketersediaan Shale Gas yang sangat melimpah membuat Amerika mengembangkan bahan bakar tipe ini. Diperkirakan di Amerika Utara terdapat sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang cukup untuk memasok gas alam untuk USA selama 50 tahun atau lebih. Analisa terakhir juga menunjukkan bahwa shale gas bisa menyediakan hingga setengah pasokan gas USA pada tahun 2020.
Amerika sebagai negara yang selalu haus akan energi dan penciptaan lapangan kerja baru mendorong Amerika untuk melakukan revolusi terhadap shale gas secara serius.
Majalah The Economist edisi Juli 2012 memprediksi bahwa shale gas saat ini telah menyumbang sepertiga pasokan gas Amerika Serikat, dan pada tahun 2035 bisa mencapai 50%. Selain itu, diperkirkanan revolusi shale gas ini bisa menciptakan tiga juta lapangan pekerjaan baru di Amerika Serikat pada 2020.
Dampak Dari Menambang Shale Gas Bagi Lingkungan
Disisi lingkungan. Meski dianggap lebih bersi dibandingkan Batubara, shale gas memiliki emisi karbon yang sangat segnifikan bila dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya. Karena proses fracking untuk memperoleh shale gas masih dianggap oleh sebagian pihak membahayakan lingkungan khususnya karena memerlukan air yang jumlahnya besar serta penggunaan bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan.
Shale Gas Bisa Membantu dan Mengancam
Shale gas bagaikan koin yang mempunyai dua sisi, di satu sisi shale gas dapat menurunkan biaya energi, membuat produksi shale gas kemungkinan akan menyebabkan penurunan harga gas alam secara signifikan. Produksi shale gas yang besar juga akan membantu meningkatkan keamanan energi, dan membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal.
dan di lain sisi membuat negara-negara pengekspor minyak dan batubara ketar-ketir melihat perkembangan Shale Gas karena mengancam pasar dari Minyak Bumi dan Batubara, munculnya shale gas juga telah menyebabkan jatuhnya harga komoditas energi lain, terutama batubara. Harga batubara telah turun sangat drastis dari rekor tertinggi US$ 192 per metrik ton pada Juni 2008 menjadi US$ 96 per metrik ton pada September 2012.
Dan, rasanya bukan sebuah kebetulan jika harga saham BUMI Plc kemudian anjlok dari GBP 14 pada April 2011 menjadi hanya 147 pound pada akhir September 2012. Begitu juga dengan harga saham Adaro yang menurun terseret penurunan harga komoditas.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, Apakah Indonesia bisa mengembangkan Shale Gas
Indonesia perlu bersyukur karena di berikan alam yang mempunyai sumberdaya alam yang sangat melimpah dan mungkin kedepannya indonesia akan beralih ke Shale Gas. Karena Indonesia juga mempunyai cadangan shale gas. Potensi Shale gas di Indonesia pun cukup besar yaitu sekitar 574 TCF dari total cadangan dunia sebesar 6622 TCF. Cadangan Shale gas lebih besar dibandingkan CBM sekitar 453,3 TCF dan gas bumi 334,5 TCF. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia yang mengandung Shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, Shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, berbentuk klasafet formation.
Cadangan CBM Indonesia tersebar dalam 11 cekungan. Dengan cadangan 453,3 TCF, Indonesia termasuk nomor 6 di dunia, berdasarkan evaluasi dilakukan Advanced Resources International, Inc (ARI) tahun 2003. Rusia menempati posisi teratas dengan cadangan sekitar 450-2.000 TCF. Selengkapnya hasil evaluasi ARI mengenai cadangan CBM di dunia, sebagai berikut:
-
1. Rusia: 450-2.000 TCF
2. China: 700-1.270 TCF
3. Amerika Serikat: 500-1.500 TCF
4. Australia/New Zealand: 500-1.000 TCF
5. Kanada: 360-460 TCF
6. Indonesia: 400-453 TCF
7. Afrika bagian Selatan: 90-220 TCF
8. Eropa bagian Barat: 200 TCF
9. Ukraina: 170 TCF
10. Turki: 50-110 TCF
11. India: 70-90 TCF
12. Kazakhstan: 40-60 TCF
13. Amerika bagian Selatan/Meksiko: 50 TCF
14. Polandia: 20-50 TCF.
Jadi salah satu faktor yang membuat harga minyak bumi terus turun akibat dari Perang OPEC vs AS atau Negara penghasil minyak bumi dan shale gas. Dimana Negara anggota OPEC terus memacu produksi minyak agar pangsa pasar tidak hilang diambil oleh Shale Gas. Kita liat saja perkembangan selanjutnya antara OPEC vs AS dan Indonesia sebagai negara pengimpor minyak di untungkan dari perang ini, karena harga minyak dunia yang jatuh.
Shale Gas Guncangkan Harga Minyak Dunia
Penemuan energi baru yakni shale gas dan shale oil oleh Amerika
Serikat dinilai dapat menggoncangkan harga minyak dunia. Amerika
Serikat yang semula hanya menjadi konsumen minyak mentah kini menjadi
produsen. Hal ini diprediksikan akan menjadi ancaman bagi sejumlah
negara produsen minyak mentah.
Diperkiraan di Amerika Utara saja terdapat sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang cukup untuk memasok gas alam untuk USA selama 50 tahun atau lebih. Analisa terakhir juga menunjukkan bahwa shale gas bisa menyediakan hingga setengah pasokan gas USA pada tahun 2020.
Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan booming produksi shale oil telah memicu supply shock dengan menciptakan jenis pasokan energi baru. Hal itu dinilai bisa menciptakan kembali industri minyak global mengingat kualitas shale oil diklaim lebih baik dibandingkan hasil minyak mentah pada umumnya selama ini.
Berdasarkan laporan Pricewaterhouse Coopers (PwC), produksi oil shale mampu meningkatkan perekonomian dunia hingga $ 2,7 triliun di tahun 2035.
“Pasokan tambahan bisa mencapai 12 persen dari produksi minyak global, atau sekitar 14 juta barel per harinya. Hal ini mampu mendorong harga minyak global turun hingga 40 persen,” demikian laporan PwC.
Bilamana supply shock terjadi, akan berpengaruh pada pembentukan reshaping industri minyak dan gas (migas) di dunia, terutama AS dan sekitarnya.
Faktanya, selama booming produksi di AS, harga minyak mentah dunia tidak turun tajam alias tetap stabil. Meskipun produksi minyak dari lapangan-lapangan baru AS booming, terjadi penurunan yang konsisten pada produksi dari lapangan-lapangan tua di seluruh dunia, dan para anggota OPEC tidak meningkatkan produksi. Sementara itu, meskipun permintaan minyak di AS jatuh, permintaan tetap kuat di seluruh dunia.
Dalam sebuah posting oleh Lou Gagliardi berjudul ‘2013 Crude Oil Outlook’, ia menjelaskan permintaan minyak dari negara-negara di luar AS, terutama Asia seperti ‘tidak pernah terpuaskan’. Permintaan terbesar datang dari China, disusul negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Setelah itu permintaan datang dari negara-negara sub-Sahara Afrika.
Jadi kesimpulannya adalah booming minyak AS tidak memengaruhi harga karena total produksi minyak dunia tidak sejalan dengan booming di negara itu.
Potensi Shale Gas di Indonesia
Besarnya kebutuhan gas dalam negeri dan menipisnya potensi gas Indonesia menggerakkan pemerintah untuk melakukan berbagai usaha guna menambah supply gas dalam negeri.
Pada awal Mei 2013, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan menggandeng Amerika serikat (AS) untuk bekerja sama dalam pengembangan gas metana batu bara (CBM) dan shale gas di Indonesia.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan kerja sama tersebut dilakukan karena AS cukup berpengalaman dalam pengembangan CBM dan shale gas.
Selain berpengalaman di bidang teknis, AS juga yang terbilang sudah cukup lama memproduksi shale gas sehingga berpengalaman pada regulasi, keselamatan, dan segi operasional.
Menurut dia, pengembangan gas yang berasal dari batu bara tersebut sangat baik untuk ketahanan energi Indonesia serta bisa membantu negara lain yang belum bisa menikmati energi.
Adapun pada pertengahan Mei, Pertamina telah menjadi perusahaan pertama yang menandatangani kontrak kerja sama wilayah kerja shale gas atau gas nonkonvensional. Pertamina menandatangani kontrak PSC Migas Nonkonvensional Sumbagut, yang merupakan PSC MNK pertama di Indonesia. Pertamina berkomitmen berinvestasi $ 7,8 Miliar atau sekitar Rp 74 triliun.
“Kami berharap penandatanganan PSC MNK ini menjadi momentum yang baik untuk masa depan pengembangan energi alternatif, terutama Shale Gas di Indonesia yang memiliki sumberdaya yang besar. Kelak, Shale Gas bisa mendukung pemerintah untuk melakukan diversifikasi energi di Indonesia sehingga ketergantungan terhadap minyak dapat dikurangi. MNK Sumbagut akan diprioritaskan untuk pasokan domestik, terutama Sumatera Utara,” tutur Karen Agustiawan, Dirut Pertamina.
MNK Sumbagut diperkirakan mengandung potensi shale gas sebesar 18,56 triliun kaki kubik. Pertamina menargetkan produksi perdana dapat diperoleh pada tahun ke-7 setelah enam tahun tahap eksplorasi perdana dengan tingkat produksi sebesar 40 MMscfd hingga 100 MMscfd.
(www.rizkyatullah.blogdetik.com/rizkylendes/www.thepresidentpostindonesia.com/kabarnergi.com/pulo lasman simanjuntak)
Posting Komentar