Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengetahui potensi alam yang di kandung bangsanya dan dapat mengaplikasikannya, sebenarnya banyak potensi energi dan sumber daya energi yang bisa kita manfaatkan dengan mengurangi potensi kerusakan alam yang sangat besar, pemanfaatan batubara sebagai pengahasil gas methana bisa dijadikan salah satu alternatif, dilihat dari indonesia adalah salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia.
Batubara memiliki kemampuan
menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan
mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti
batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang
berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon.
Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas
sehingga
mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
Gas yang terperangkap pada batubara
sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut
dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi,
CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight
sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High
quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap
sebagai conventional gas.
Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang
terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air
dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang
dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix),
tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya.
Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan
sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.
Gambar
1. Prinsip produksi CBM
(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)
CBM bisa keluar (desorption)
dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target
lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap
tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu
yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi
dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara
target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang
tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar
lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan
gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya
akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air
dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.
Potensi CBM
Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan
menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa
terdapat 2 jenis pola pembentukan.
Sebagian besar CBM adalah gas yang
terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas,
yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis.
Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di
kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme
yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik
yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap
dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.
Gambar
2. Pembentukan CBM
(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)
Kuantitas CBM berkaitan erat dengan
peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium
volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas
gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.
Dari penelitian Steven dan
Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal
basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan
sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4
Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama
dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal
yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone)
dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang
sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional
gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.
Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal
matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena
CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan
bahwa ada batubara ada CBM.
Produksi CBM & Teknologi
Pengeboran
Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat
dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.
Tapi dengan kemajuan teknik
pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat
ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan
batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi
gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan
teknik ini.
Gambar
3. Teknik produksi CBM
(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)
Teknik ini juga memungkinkan produksi
gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan,
terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa
yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang
efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal
dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.
Gambar
4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi
(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)
Lebih jauh lagi, telah muncul pula
ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang
mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini
adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral
adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.
Pada produksi yang lokasi
permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di
pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila
menggunakan metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi
fasilitas permukaan.
Catatan: Teknik pengontrolan arah bor
Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini,
hanya bit yang terpasang di ujung down hole motor saja yang berputar,
melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan) dan bukan mesin
bor rotary (pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh
perputaran batang bor atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk
melakukan pengeboran sumur horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat
yang disebut MWD (Measurement While Drilling) terpasang di bagian
belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan
melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.
Gambar
5. Pengontrolan arah bor
(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)
ECBM
ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk
meningkatkan keterambilan CBM. Pada teknik ini, gas injeksi yang umum digunakan
adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh sangat berbeda tergantung dari
gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan produksi CBM
dengan menggunakan gas injeksi N dan CO2.
Gambar
6. ECBM dengan N dan CO2
(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)
Bila N yang digunakan, hasilnya
segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan tetapi, karena N dapat
mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan
justru menjadi berkurang.
Ketika N diinjeksikan ke dalam
rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan karena
konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke
matriks tersebut. Sebagian N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada
pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi N lebih sedikit bila dibandingkan dengan
gas metana, maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh (saturated) dengan
sedikit N saja.
Gambar
7. Tingkat adsorpsi gas
(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)
Gambar
8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara
(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)
Namun tidak demikian dengan CO2. Gas
ini lebih mudah menempel bila dibandingkan dengan gas metana, sehingga CO2 akan
menghalau gas metana yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja
banyak menempel di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan
banyak terdapat CO2 sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih
sedikit bila dibandingkan dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih banyak
mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat
keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.
(akku)
*Tulisan ini adalah terjemah bebas
buku “Sekitan no hon” sub bab 45, 47, dan 48 (editor Kazuo Fujita, penerbit
Nikkan Kōgyō Shinbunsha, April 2009
Posting Komentar